Sayap Burung di Tengah Beton: Kisah Megah Kompleks MPR/DPR/DPD RI

Selasa, 30 September 2025, 02:57:04 WIB

JAKARTA, BERITA SENAYAN – Di jantung Jakarta, di antara hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, berdiri sebuah mahakarya, Komplek MPR/DPR/DPD RI. Pada tanggal 8 Maret 1965, melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965, benih gagasan itu resmi menjadi kenyataan. Semua bermula dari mimpi besar Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, yang ingin menyelenggarakan CONEFO, Conference of the New Emerging Forces. Impian ini bukan sekadar bangunan; ia adalah simbol aspirasi bangsa yang hendak terbang tinggi, menembus batas-batas dunia lama.
Arsitekturnya lahir dari tangan Soejoedi Wirjoatmodjo, Dpl.Ing., seorang perancang yang tak hanya menata ruang, tetapi merangkai simbol dan makna. Pada 22 Februari 1965, rancangan ini disahkan oleh Soekarno sendiri—sebuah izin untuk menorehkan sejarah dalam batu dan beton. Namun perjalanan itu tidak mudah. Peristiwa G30S PKI sempat menghentikan langkah-langkah ambisius ini. Waktu berhenti sejenak, namun semangat untuk membangun kembali tak pernah padam. Pada 9 November 1966, melalui Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera, pembangunan dilanjutkan, kini dengan tujuan baru: Gedung MPR/DPR RI, benteng demokrasi yang menantang zaman.
Di dalam kompleks ini, setiap bangunan bercerita. Gedung Nusantara, mahkota dari seluruh kawasan, berbentuk kubah setengah lingkaran, seolah kepakan sayap burung yang siap lepas ke langit kebebasan. Nusantara I menjulang setinggi seratus meter, dua puluh empat lantai penuh prestasi dan harapan, sementara Nusantara II hingga V, Bharana Graha, Sekretariat Jenderal MPR/DPR/DPD, Gedung Mekanik, dan Masjid Baiturrahman menambah simfoni arsitektur yang memukau. Setiap sudut, setiap garis, adalah bait dari puisi besar yang dibacakan oleh batu, besi, dan kaca.
Di tengah halaman, kolam air mancur berkilau, memantulkan langit dan gedung-gedung di sekitarnya. Di sana berdiri Patung Elemen Estetik, tiga bulatan yang saling berpelukan dalam kesinambungan. Drs. But Mochtar dari Institut Teknologi Bandung menanamkan jiwa dalam logam dan tembaga; pondasi beton memegang teguh simbolisme ini, seakan menyatukan bumi dan langit dalam harmoni. Patung ini selesai pada 1977, namun getarannya tetap hidup, mengundang setiap pengunjung untuk berhenti, menatap, dan merenung.
Diapit tiga puluh lima tiang bendera yang menari pelan tertiup angin, gedung ini menulis namanya dengan huruf besar: Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Tangga utama Gedung Nusantara menjulang tinggi, mengajak setiap langkah manusia untuk naik, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin. Di atasnya, pembaca sejarah dan pelaku demokrasi menemukan diri mereka terselip di antara masa lalu yang berat dan harapan yang terbentang luas.
Komplek ini bukan sekadar gedung dan patung. Ia adalah pengalaman batin, tempat di mana beton dan baja berbisik tentang keberanian, tentang mimpi yang terhenti namun kembali terbang, tentang bangsa yang belajar berdiri tegak, dan tentang sayap-sayap burung yang, walau tertahan sejenak, pasti akan lepas melintasi langit (red)
Berita terkait

Gedung DPR/MPR, Karya Arsitek-Arsitek Indonesia yang...
Berita Terbaru

Yahya Zaini Dorong Penguatan Program Kesehatan...

Agung Widyantoro Salurkan Beasiswa KIP Kuliah...
