Berita Senayan
Network

Ketika Gedung Parlemen Sunyi: Cerita di Balik Masa Reses

Redaksi
Laporan Redaksi
Minggu, 05 Oktober 2025, 09:16:48 WIB
Ketika Gedung Parlemen Sunyi: Cerita di Balik Masa Reses
Gambar adalah ilustrasi



JAKARTA, BERITA SENAYAN – Kalau tiba masa reses, gedung parlemen di Senayan mendadak seperti rumah besar yang ditinggal penghuninya mudik. Lorong-lorong panjang di setiap sudut dari gedung kura-kura itu mendadak sunyi, lift yang biasanya sibuk mengantarkan jas-jas mahal ke ruang fraksi kini berhenti di lantai dasar, menatap kosong.

Petugas keamanan terlihat bersandar santai di pos jaga, hanya suara sapu petugas kebersihan yang memecah sepi. Di masa reses ini, gedung MPR/DPR/DPD berubah jadi semacam museum politik. Terbuka, tapi tak ada isinya.

“Reses” sendiri, secara resmi, adalah masa kerja di luar sidang. Dalam kamus politik, ini disebut waktu bagi wakil rakyat untuk “menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihannya.” Dalam kamus rakyat, artinya: para anggota dewan sedang tidak di kantor.

Senayan yang Sunyi, Tapi Tak Sepi dari Bayangan

Masuklah ke Gedung Nusantara saat reses seperti sekarang ini. Di ruang-ruang fraksi, kursi-kursi berjejer rapi seperti sedang menunggu majikannya kembali. Mikrofon di meja sidang tampak kehilangan fungsi. Ia yang biasanya mendengar teriakan soal interupsi kini hanya menatap hampa. Beberapa lampu dipadamkan, AC dikurangi. Seolah negara pun ikut berhemat saat wakilnya pergi “menyapa rakyat.”

Wartawan pun sudah jarang datang, karena tak ada yang bisa diwawancarai kecuali petugas kebersihan yang tahu lebih banyak soal ritme politik daripada sebagian anggota DPR baru.

Tapi jangan salah, gedung ini tak sepenuhnya mati. Di balik sepinya lorong, ada kegiatan tersembunyi. Petugas perawatan memperbaiki lift, ada pula yang mengecat tembok, staf-staf menata dokumen. Negara, tampaknya, tetap bekerja meski yang bicara sedang pulang kampung.

Turun ke Dapil, Naik Panggung Lagi

Di luar Senayan, kehidupan politik justru bergeser ke daerah pemilihan. Para anggota dewan kini tampil di panggung yang lebih kecil, tapi pencahayaannya lebih tajam: di depan konstituen. Di masa reses, mereka menanggalkan jas formal dan mengenakan batik santai, terkadang peci atau topi tani sebagai simbol kedekatan semu yang sudah diatur oleh protokol foto.

Mereka turun ke pasar, mendengar keluhan pedagang tentang harga cabai. Mereka berkunjung ke sekolah, memuji semangat guru honorer. Mereka menepuk bahu petani sambil berjanji “akan disuarakan di Senayan.”

Dan di sela acara, selalu ada kamera yang merekam. Karena dalam politik modern, tak ada yang benar-benar mendengarkan kalau tak ada yang menonton.

Baliho ucapan “Selamat Menjalankan Reses” pun bermunculan di berbagai sudut kota. Foto sang anggota dewan terpampang lebar dengan senyum setengah menghibur, setengah mengingatkan: “Saya masih ada, jangan lupa nanti tahun 2029.”

Reses atau Rehat dari Rakyat?

Masa reses ini unik. Secara teori, ia adalah momen demokrasi bekerja dari bawah ke atas: rakyat bicara, wakilnya mendengar. Tapi dalam praktik, kadang justru sebaliknya. Rakyat kembali menjadi penonton dari jauh, sementara para wakil berpidato di panggung kecil dengan pengeras suara yang lebih keras dari substansinya.

Beberapa anggota mungkin sungguh bekerja, menampung keluhan warga dan menuliskannya dalam laporan pokok-pokok pikiran (pokir). Namun banyak pula yang sekadar “melaksanakan agenda reses” seperti melaksanakan ritual tahunan: wajib, tapi tanpa semangat.

Dan ketika masa reses usai, laporan-laporan itu menumpuk di meja staf ahli, menjadi tumpukan kertas yang jarang dibaca. Gedung Senayan kembali hidup, sidang dimulai lagi, dan suara rakyat entah sudah sampai atau tertinggal di jalan.

Gedung yang Merindukan Penghuninya

Ironisnya, gedung MPR/DPR/DPD sendiri seolah ikut rindu pada hiruk pikuk penghuninya. Ia dibangun untuk ramai, bukan untuk hening. Tapi dalam keheningan itu, mungkin ia akhirnya bisa bernapas. Tak ada interupsi, tak ada tepuk tangan basa-basi, tak ada rapat paripurna yang molor sampai malam.

Dinding-dindingnya mungkin mendengar gumam berbeda: suara angin, bukan orasi. Dan entah kenapa, suasana itu terasa lebih jujur.

Sementara di luar sana, para wakil rakyat sibuk membuktikan bahwa reses bukan libur panjang bersubsidi. Bahwa mereka benar-benar “turun ke bawah” meski seringnya hanya sebatas turun dari mobil dinas.

Maka begitulah wajah reses di republik ini: masa istirahat bagi gedung, masa ujian bagi janji. Dan ketika semuanya kembali ke Senayan, publik pun tahu bahwa yang paling bekerja keras selama reses barangkali bukan para anggota dewan, tapi petugas kebersihan yang menjaga agar gedung itu tetap bersih dari debu… dan dari sisa-sisa janji (red)


Berita terkait

Janji Plasma 20 Persen Sawit untuk Warga Hanya Fatamorgana?
Janji Plasma 20 Persen Sawit untuk...
2 Oktober 2025, 08:36:15
Ahli Waris Protes Klaim Tanah oleh Pemprov Sumsel
Ahli Waris Protes Klaim Tanah oleh...
1 Oktober 2025, 17:21:53
PGMM Kritik Aturan Hibah Daerah yang Rugikan Madrasah Swasta
PGMM Kritik Aturan Hibah Daerah yang...
1 Oktober 2025, 10:34:47